Barangkali tidak mengejutkan bahwa di bumi Nusantara ini para leluhur kita telah mengenal dan memanfaatkan angka dalam kehidupan sehari-harinya, sebagaimana tertulis pada prasasti-prasasti yang terdapat di beberapa situs, khususnya di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Sang citralekha, pemahat (batu) prasasti tidak saja menggoreskan abjad tetapi juga angka. Goresan angka mereka mengantarkan kita untuk memahami sejarah perjalanan angka di Nusantara. Penggunaan basis bilangan sepuluh dan konsep nilai tempat ternyata ditemukan, dalam lafal bilangan, sejak awal abad 5 Masehi. Prasasti Tugu dari Jawa Barat dan tujuh buah yupa dari Kutai, Kalimantan Timur memahatkan buktinya. Sekitar 2½ abad kemudian kedua konsep tersebut digunakan dalam bentuk lambang bilangan atau angka, sebagaimana terpahat pada prasasti-prasasti di Kadatuan Sriwijaya. Baca selengkapnya di sini.